Jejak Islam Di Mali


Islam masuk ke Afrika Barat pada abad IX. Islam dibawa oleh Muslim Berber dan Tuareg yang sebagian besar merupakan pedagang. Para sufi juga berperan pada penyebaran agama Islam di daerah tersebut. Pada awal-awal masuknya Islam di kawasan sebelah barat Afrika itu, Kota Timbuktu, Gao, dan Kano dijadikan sebagai pusat pengajaran Islam.

Mali juga memiliki peran penting dalam penyebaran Islam ketika masih dipimpin oleh Raja Mansa Musa (1312-1337). Dia telah berhasil menularkan pengaruh Islam di Mali kepada kota besar lainnya, seperti Timbuktu, Gao, dan Djenne. Bahkan berkat dirinya, pada suatu masa, Timbuktu menjadi salah satu pusat kebudayaan yang tidak hanya berpengaruh di Afrika, tetapi juga di dunia. Mansa Musa adalah seorang Muslim yang taat. Sepanjang masa kepemimpinannya, dia telah membangun banyak masjid. Mansa Musa menjadi figur yang semakin kuat di mata rakyatnya ketika dia memutuskan untuk melakukan perjalanan haji ke Makkah. Perjalanan itu bahkan masuk dalam catatan sejarah bangsa Eropa.
Salah satu daerah yang terkenal sebagai pusat peradaban Islam di Mali pada abad ke-12 M adalah Timbuktu. Pada abad itu, Timbuktu telah menjelma sebagai salah satu kota pusat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam yang masyhur. Di era kejayaan Islam, Timbuktu juga sempat menjadi sentra perdagangan terkemuka di dunia. Rakyat Timbuktu pun hidup sejahtera dan makmur.
Secara gemilang, sejarawan abad XVI, Leo Africanus, menggambarkan kejayaan Timbuktu dalam buku yang ditulisnya. “Begitu banyak hakim, doktor, dan ulama di sini (Timbuktu). Semua menerima gaji yang sangat memuaskan dari Raja Askia Muhammad—penguasa Negeri Songhay. Raja pun menaruh hormat pada rakyatnya yang giat belajar,” tutur Africanus.
Di era keemasan Islam, ilmu pengetahuan dan peradaban tumbuh sangat pesat di Timbuktu. Rakyat di wilayah itu begitu gemar membaca buku. Menurut Africanus, permintaan buku di Timbuktu sangat tinggi. Setiap orang berlomba membeli dan mengoleksi buku. Sehingga, perdagangan buku di kota itu menjanjikan keuntungan yang lebih besar dibanding bisnis lainnya.
Sejak abad ke-11 M, Timbuktu mulai menjadi pelabuhan penting—tempat beragam barang dari Afrika Barat dan Afrika Utara diperdagangkan. Pada era itu, garam merupakan produk yang amat bernilai. Di Timbuktu, garam dijual atau ditukar dengan emas. Kemakmuran kota itu menarik perhatian para sarjana berkulit hitam, pedagang kulit hitam, dan saudagar Arab dari Afrika Utara.
Saat ini, Mali diakui sebagai negara yang mayoritas penduduknya Islam dan sangat toleran kepada pemeluk agama yang lain. Bahkan, perbedaan agama di dalam satu keluarga tidak terlalu menjadi masalah di sana. Mereka juga saling menghadiri perayaan hari besar agama. Selain itu, tidak ada pembatasan peran wanita di negara tersebut. Wanita bisa dengan bebas ikut aktif dalam bidang ekonomi, sosial, ataupun politik. Namun, seperti kebanyakan negara berkembang lainnya, Islam di sana masih mendapatkan pengaruh dari kepercayaan-kepercayaan tradisional.
Dari sudut pandang konstitusi, negara tersebut juga sangat menerapkan kebebasan beragama bagi warga negaranya. Pemerintah sangat menghargai kegiatan ibadah agama apa pun dan melindungi hak setiap warga negaranya untuk melakukan ibadah. Kekerasan terhadap agama lain tidak bisa ditoleransi oleh undang-undang dasar mereka.
Meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam, Mali bukan negara yang berdasarkan agama tertentu. Bahkan, negara tersebut cenderung memilih untuk menjadi sekuler, memisahkan kehidupan beragama dengan kehidupan sosial. Pada pemilihan presiden pada April 2002 yang lalu itulah, pemerintah dan partai politik sepakat untuk menjadikan Mali sebagai negara sekuler.
MASJID RAYA NIONO – Masjid Lumpur Khas Muslim Mali
Mali, sebuah negara Muslim yang terkurung daratan di Afrika Barat, kaya akan bangunan bersejarah. Karya-karya arsitektur Islam di negeri yang sempat menjadi pusat peradaban Islam di abad ke-12 M itu dikenal memiliki keunikan tersendiri. Salah satu karya arsitektur yang luar biasa di Mali adalah Masjid Raya Niono. Secara arsitektur, masjid itu  hampir mirip dengan Masjid Djenne. Uniknya, kedua masjid itu terbuat dari lumpur dan kayu dari pohon palem. Bentuk bangunannya pun tidak seperti arsitektur masjid yang ada di negara Muslim lainnya.
Masjid Raya Niono terletak di titik pusat Desa Niono. Masjid itu berdiri kokoh dengan bahan dasar batu bata yang terbuat dari lumpur dan tanah liat. Masjid ini sangat mudah ditemukan karena terletak di dekat pasar Desa Niono. Beberapa pintu masuk masjid dibangun untuk mengakomodasi jamaah yang datang melalui tiga jalan besar yang melewati masjid itu.
Sang desainer, Lassine Minta, hanya menggunakan pekerja setempat dan bahan-bahan seadanya ketika membangun masjid tersebut. Pada sekitar 1945 hingga 1948, Masjid Raya Niono pada mulanya hanya dibangun di atas areal seluas 119 meter persegi.
Bangunan itu berdiri dengan luasan delapan bay (tiang-tiang penyangga) dari utara ke selatan dan tiga bay dari timur ke barat. Pada bagian paling timur dibuat mihrab yang menghadap langsung ke Makkah. Pada 1955, pengelola masjid memutuskan untuk memperluas areal masjid. Mereka lalu menambahkan enam tiang penyangga lagi.
Namun, pada 1969, kebutuhan untuk memperluas masjid kembali muncul. Bahkan sudah merupakan keharusan karena tuntutan kebutuhan bagi jamaah. Perluasan areal masjid itu tentunya diukur dari kebutuhan masyarakat akan tempat ibadah yang ideal. Terutama bangunan tempat ibadah yang bisa menampung kaum Muslim di daerah tersebut ketika melakukan shalat Jumat, shalat lima waktu, atau untuk melakukan perayaan di hari-hari besar.
Paling tidak, upaya untuk memperbesar bangunan masjid itu bisa memungkinkan beberapa baris jamaah ketika shalat dilangsungkan. Tidak hanya itu saja, harus diperhitungakan pula bahwa setiap jamaah memiliki ruang yang cukup untuk melakukan gerakan-gerakan shalat. Selain itu, disediakan cukup ruang
untuk lalu-lalang yang tentunya tidak mengganggu mereka yang sedang shalat.
Saat menambah luas masjid, sang arsitek juga sudah memperhitungkan bahwa bangunan masjid itu harus dibuat senyaman mungkin. Sehingga, orang-orang yang datang bisa dengan khusyuk beribadah. Desain bangunan harus bisa beradaptasi dengan temperatur negara Mali yang cenderung ekstrem, bahkan terkadang sangat panas.
Sang arsitek, Lassine Minta, menambahkan halaman pada areal masjid untuk mengakomodasi situasi ketika jamaah terlalu padat. Selain itu, untuk mangatasi hawa panas, beberapa kipas angin elektrik dipasang di beberapa bagian di masjid. Namun, terkadang suasana menjadi sangat gerah pada waktu-waktu tertentu dan kipas angin tidak bisa meredakan kegerahan itu. Solusinya, Lassine Minta membuat ventilasi serta jendela-jendela besar.
Kini, masjid tersebut memiliki luas sekitar 726 meter persegi. Perluasan itu merupakan usaha selama 25 tahun, mulai dari 1948 sampai 1972. Rekonstruksi pada masjid itu meliputi bangunan utamanya dan menambahkan bangunan lain yang terpisah dengan bangunan utama. Bangunan seluas 140 meter persegi itu difungsikan sebagai tempat shalat jamaah wanita. Kemudian, dibuat pula bangunan yang memungkinkan bagi pengelola masjid untuk tinggal, dan disediakan juga gudang untuk menaruh barang-barang keperluan perawatan masjid. Corak material bangunan Masjid Raya Niono terbilang sangat khas dan mengikuti pola bangunan yang sudah ada di daerah tersebut.
Biasanya, rumah-rumah atau bangunan di Desa Niono berbahan dasar lumpur tanah liat yang kemudian dibentuk menjadi batu bata. Agar mengeras, batu bata tersebut tidak dibakar seperti kebanyakan dilakukan di Indonesia, akan tetapi hanya dijemur di panas matahari. Terkadang, untuk lebih memperkuat batu bata itu ditambahkan dedak pada proses pembuatannya. Lalu, untuk fondasi dan rangka bangunan biasa digunakan kayu. Terutama kayu dari pohon Palmyra.
Material-material modern seperti semen biasanya dipakai untuk fondasi dan tambahan untuk atap serta digunakan pula sebagai plester. Sementara besi dipakai untuk sambungan rangka ataupun frame pada jendela dan pintu. Namun, material modern itu sangat jarang digunakan. Sebab, dari sisi ekonomi, penggunaan material modern jauh lebih mahal karena harus diimpor dari negara lain. Sehingga, material itu kurang diminati, tidak hanya dalam pembangunan rumah bagi masyara kat sekitar, tetapi juga ketika akan membangun masjid.
Cara-cara tradisional dianggap lebih sederhana dan hemat biaya. Salah satu kekurangan penggunaan batu bata yang hanya dijemur di panas matahari adalah perlunya perawatan dan perbaikan yang intensif setiap tahunnya. Tidak hanya pada permukaan luar yang diperhatikan, akan tetapi juga pada permukaan di bagian dalam masjid.

Spanyol dengan Istana Alhambra dan Masjid Cordoba

Masjid Cordoba yang berubah menjadi Gereja
Jejak kebesaran Islam di Eropa yang kini sangat dikenal sebagai salah satu destinasi wisata

Selama ini hampir sebagian besar umat muslim dunia mengenal jejak peninggalan Islam sebagian besar ada di jazirah Arab. Padahal Islam pernah berjaya hingga daratan Eropa dan meninggalkan jeka-jejaknya yang hingga kini masih terpelihara dengan megah dan indah sebagai tempat wisata yang banyak dikunjungi.

Islam pernah mengalami kejayaan pada abad pertama hingga abad ke 7 Hijriah atau abad ke VII hingga abad XIII Masehi. Daerah yang tunduk di sebelah Timur sampai ke Parsi dan ke sebelah Barat, selain ke Afrika juga ke Konstantinopel (Turki) dan semenanjung Andalusia di Eropa atau dikenal sebagai Spanyol sekarang ini.

Salah satu yang sangat dikenal adalah Spanyol yang memiliki dua jejak sejarah Islam yang sangat terkenal dan patut dikunjungi, yakni The Alhambra istana yang dibangun kerajaan Islam dan masjid Cardoba yang sekarang berubah menjadi gereja atau Kathedral Mez’quita.

Istana Alhambra
Cukup membayar 13 euro, kita bisa masuk ke Alhambra di Granada melalui Barcelona, melewati kota Valencia dan Murcia, serta keluar nanti dari kota Madrid. Alhambra dibangun pada tahun 1842 yang sekarang menjadi lokasi kunjungan wisatawan mancanegara.

Masuk ke dalam istana peninggalan Kerajaan Islam itu bagaikan masuk ke dalam masjid. Namun sekarang fungsinya tidak lagi digunakan sebagai masjid, melainkan pengunjung cuma melihat-lihat keagungan ornamen Islam di sana.

Hampir seluruh dindingnya dipenuhi tulisan kaligarfi Arab sehingga dari jauh kelihatan seperti desain batik. Istana ini cukup unik dengan arsitektur bergaya kuno yang sekarang masih terus dipelihara dengan baik. Buktinya, jalan menuju keluar dari Alhambra di bawah reruntuhan daun-daun yang menguning dari jajaran pohon rindang di sepanjang jalan.

Dari Alhambra, kita melihat peninggalan Islam masjid Cordoba (Kathedral Mez’quita), terletak sekitar 166 km di sebelah tenggara Madrid (ibukota Spanyol), di kaki bukit Siera de Montena pada sisi barat Sungai Guadalquiver.

Cordoba adalah kota yang dikuasai bangsa Phoenisia dan kemudian Cartagana. Terakhir pada dua tahun sebelum masehi menjadi salah satu negara jajahan Romawi. Pada abad ke 6 masehi, bangsa Moor, yaitu kaum muslimin dari Afrika Utara, menyeberang selat Gibraltar dan menguasai semenanjung Andalusia ini termasuk Cordoba.

Abdurahman I pada puncak kejayaan Islam, mendirikan masjid Cordoba pada tahun 936 masehi. Masa Raja Abdurahman III sekira 8 km dari lokasi masjid ini didirikan pusat administrasi yang dinamakan kota Medina-Azahra yang sangat indah dan mewah.
Taman istana Alhambra demikian menakjubkan. Di dalam taman ini banyak sekali dijumpai kolam-kolam dengan air mancur di sana sini. Bahkan sejumlah arsitek taman terkemuka dunia mengakui bahwa taman istana Versailles di Perancis dan juga taman-taman di istana Inggris terinsiprasi oleh General Life Alhambra.
Sebaliknya terlihat jelas bahwa para pemimpin dan raja-raja Islam di masa lalu, membangun taman-taman indah dengan kolam-kolamnya, air mancur dan sungai yang gemericik suaranya serta tanaman yang beraneka ragam buah dan bunganya karena terinspirasi ayat-ayat  Al-Quran.
“Perumpamaan syurga yang dijanjikan kepada orang-orang yang takwa ialah (seperti taman). mengalir sungai-sungai di dalamnya; buahnya tak henti-henti, sedang naungannya (demikian pula). Itulah tempat kesudahan bagi orang-orang yang bertakwa; sedang tempat kesudahan bagi orang-orang kafir ialah neraka)”.( QS. Ar-rad (13): 35).
Alhambra merupakan bukti akan kejayaan Islam pada masa lampau di semenanjung Iberia. Di kawasan Andalusia ini pula lahir banyak ilmuwan muslim, sebut saja Al Zahrawi (Abulcasis, ahli bedah modern), Ibn Rushd (Averroes, filsafat), Al Idris (pembuat globe atau bola peta dunia), Al Zarqali (Arzachel, astronom, penemu kalender almanak), dan Ibn Firnas (pembuat cikal bakal pesawat terbang dan parasut, dengan mencoba pertama kali terbang dengan bulu-bulu yang menyerupai sayap).
Alhambra juga sekaligus menjadi simbol dan benteng terakhir kekalahan Islam di Spanyol. Banyak yang mensinyalir bahwa kekalahan ini akibat dari sang penguasa sibuk dengan tahta, wanita dan kemewahannya, serta lalai akan umat dan agamanya.
Masjid Cordoba
Kemudian masjid Cordoba ini mengalami perluasan selama beberapa orang khalifah (raja) yaitu Abdurahman II, Abdurahman III sehingga pada akhirnya luas masjid menjadi 2,4 hektar lebih. Hanya saja mihrab masjid ini tidak mengarah ke Makkah, akan tetapi mengarah ke Syria (Damaskus) yang diperkirakan mihrab ini hanya sekadar untuk mengenang ibu negara tempat mereka tunduk (Damaskus). Namun jika shalat, mereka tetap berkiblat ke Makkah.

Bangunan masjid ini sangat kokoh dan tahan gempa, bahkan pada gempa keras yang pernah terjadi tahun 1793 (gempa bumi Lisabon), tidak ada sedikitpun keretakan yang terjadi. Sedangkan bangunan Kathedral dalam bagian masjid didirikan pada awal abad ke-13 masehi, telah mengalami keretakan. Bangunan masjid ditopang dengan ribuan tiang-tiang (kolom) yang beronamen Arab (muslim) dan ditutup dengan kubah-kubah yang menyebabkan masjid ini tidak memerlukan sound system.

Bagian dalam masjid penuh dengan ukiran motif Arab, dilengkapi dengan khat (huruf AlQur’an) yang sangat indah, sehingga tidak kalah indahnya dengan arsitektur masjid Nabawi di Madinah. Tiang-tiang penopang bagian masjid ini terdiri dari batu-batu granit gunung yang kilat dan saling memantulkan cahaya sehingga dengan cahaya matahari yang sedikitpun cukup menerangi ruangan masjid.

Pada awal abad ke-13, bangsa Moor Spanyol yang muslim tidak dapat mengatasi serbuan bangsa Eropa yang datang dari Utara (non-muslim), maka Cordoba ditaklukkan, termasuk masjid ini ikut diduduki.

Kemudian beberapa tiang (kolom) dihancurkan dan di dalam masjid bangunan masjid didirikan kathedral yang diberi nama Cathedral Mez’quita. Pada beberapa dinding masjid saat ini terlihat lambang-lambang non muslim. Sampai saat ini masih berdentang lonceng gereja tiap beberapa menit sekali.

Namun tidak terlihat para pelayan berjubah seperti pakaian suster pada agama Katolik. Bahkan terkesan tempat ini lebih banyak untuk kunjungan wisawatan daripada untuk berdo’a dan sembahyang. Namun beberapa kegiatan misa ritual agama Katolik tiap hari dilakukan hingga sekarang, dan fungsi masjid ini tidak ada lagi. Untuk masuk ke masjid yang sekarang berubah menjadi gereja Katolik ini seharga 12 euro.

Dihiasi 20.000 Ubin Biru, Masjid Sultanahmet Berdiri Cantik di Istanbul


Masjid Sultanahmet (Sacred-destinations)
Jakarta - Dengan berbagai kubah dan enam menara yang ramping, Masjid Sultanahmet mendominasi pemandangan di Istanbul, Turki. Masjid Sultanahmet sebetulnya lebih dikenal dengan nama Masjid Biru.

Seperti dikutip dari Sacred-destinations, Selasa (23/8/2011), pada abad 17, Sultan Ahmet ingin membangun sebuah tempat ibadah orang Islam yang lebih baik dari masjid atau bangunan ternama lainnya.

Masjid Biru dibangun oleh Sultan Ahmet saat ia baru berusia 19 tahun. Masjid ini dibangun di dekat Hagia Sophia, di atas lokasi tempat perlombaan kuda kekaisaran Byzantium kuno. Pekerjaan konstruksi Masjid yang dirancang oleh arsitek Mehmet Aga dimulai pada tahun 1609 dan membutuhkan waktu tujuh tahun untuk merampungkannya.

Sayangnya satu tahun setelah masjid tersebut selesai dibangun, Sultan Ahmed meninggal pada usia muda yaitu 27 tahun. Ia pun akhirnya dimakamkan di luar masjid itu. Di sana terdapat pula makam istri Sultan Ahmet dan ketiga putranya.

Di dalam kompleks masjid ini dulunya terdapat madrasah, rumah sakit, sekolah dasar, pasar dan makam sang pendiri. Namun sebagian besar dirobohkan pada abad ke-19.
Salah satu desain yang paling menonjol dari Masjid Biru ini adalah enam menaranya. Hal ini sangat unik karena kebanyakan masjid memiliki empat, dua, atau hanya satu menara. Menurut cerita, Sultan Ahmet saat itu meminta arsitek agar membubuhkan emas (Altin) pada menara masjid namun arsitek salah paham dan mengira Sultan meminta dibuatkan enam (Alti) menara.

Ada pun cerita asal-usul enam menara itu cukup menimbulkan skandal, seperti Masjid Haram di Makkah yang juga memiliki enam menara. Pada akhirnya, Sultan memecahkan masalah dengan mengirimkan arsitek ke Makkah untuk menambahkan menara ketujuh.

Fitur eksterior mencolok lainnya adalah turunan kubah yang seolah sebuah kubah pusat yang besar dan menumpahkan kubah-kubah kecil lainnya ke bawah. Meski namanya Masjid Biru, eksterior masjid ini sama sekali tidak berwarna biru. Nama biru diambil dari ubin yang berada di dalam masjid yang berwarna biru.

Pintu masuk barat utama dihiasi dengan indah dan sangat indah untuk dilihat. Untuk menjaga kesucian masjid, para pengunjung harus menggunakan pintu masuk sebelah utara.

Di dalam, langit-langit yang tinggi dilapisi dengan 20.000 ubin biru. Terlihat desain ubin Iznik khas abad ke-16 , ubin bergambar bunga, pohon dan pola-pola abstrak. Efek keseluruhannya adalah salah satu pemandangan paling indah di Istanbul. Ubin Iznik dapat dilihat di galeri dan di dinding utara di atas pintu masuk utama.

Bagian interiornya terlihat terang dan menyala dengan 260 jendela, yang pernah diisi kaca patri pada abad ke-17. Sayangnya, kaca itu telah hilang dan diganti dengan replika.

Jika ingin berkunjung ke sana sebaiknya dilakukan pada musim panas. Karena panitia selalu mengadakan pertunjukkan pembacaan narasi historis dan permainan cahaya di masjid tersebut. Pertunjukkan dibawakan dalam empat bahasa, Turki, Inggris, Prancis dan Jerman.

(feb/nvt)

Masjid Al Jin, Tempat Para Jin Masuk Islam



Jakarta - Masjid Al Jin, namanya yang unik selalu menarik peziarah yang datang ke Makkah untuk mampir. Tapi kemudian muncul pertanyaan, kenapa disebut Masjid Al Jin, ya?

Pertanyaan itu muncul di benak saya saat pertama kali mendengar nama Masjid Al Jin. Ketika itu, saya bersama warga Indonesia lainnya sedang melaksanakan city tour di Kota Makkah. Bus yang kami tumpangi melewati sebuah kawasan yang bernama Ghazza, distrik Mala. Letaknya sekitar 1 km dari Masjidil Haram.

"Ya lihat di sebelah kanan Anda, di sana Ada masjid bernama Masjid Al Jin," kata pemandu wisata, Fawaid saat saya umroh beberapa waktu lalu.

Dalam hati saya dan rombongan yang lain mungkin bertanya-tanya, kenapa diberi nama Al Jin, apakah itu tempat salat para jin? Seolah bisa membaca pikiran kami, Fawaid pun menjelaskan.

"Diberi nama Al Jin karena dulu para jin masuk Islam di hadapan Rasulullah SAW di dalam masjid ini. Jadi, untuk mengenang diberi nama Al Jin," kata Fawaid.

Diceritakan, pada waktu itu Rasulullah sedang membaca Al Quran. Kemudian para jin yang kebetulan lewat tertarik mencari tahu asal muasal lantunan lembut itu.

Mereka pun mendapati Rasulullah sedang mengaji. Tersentuh dengan ayat Al Quran yang dibacakan Rasulullah, para jin pun menyatakan diri masuk Islam. Inilah latar belakang penamaan Masjid Al Jin.

Jika dilihat dari kejauhan, masjid ini tak tampak seperti masjid pada umumnya yang memiliki kubah dominan. Masjid Al Jin tampak begitu dominan dan kokoh dengan tembok besarnya.

Tidak seseram namanya yang mengambil kata Jin, Masjid Al Jin atau yang juga biasa disebut Masjid Bai'at justru memberikan kesejukan bagi setiap peziarah yang datang untuk salat. Mungkin karena bangunan yang tinggi dan adanya pendingin udara, membuat masjid ini terasa sejuk.

Warna abu-abu mendominasi Masjid Al Jin yang memiliki luas 10X20 meter. Masjid Al Jin memiliki dua lantai dan satu basement. Jika menengok ke atas, peziarah bisa melihat kubah masjid yang dihias dengan tulisan kaligrafi Surat Al Jin ayat 1-9.

Saat ini, Masjid Al Jin menjadi salah satu tempat yang wajib dikunjungi wisatawan, yang sedang melaksanakan umrah di Makkah. Tak heran kalau masjid ini selalu ramai umat muslim, terutama saat waktu salat tiba.

(ptr/rmd)

Jejak Kejayaan Islam di Spanyol



Jakarta - Bagi Anda peminat sepak bola, ketika mendengar nama Barcelona ataupun Real Madrid mungkin tidak asing lagi. Ya, keduanya adalah klub ternama dari Spanyol. Setiap orang saat ini jika ditanya tentang Spanyol, umumnya akan menjawab dengan menyebut dua nama klub raksasa sepak bola.

Spanyol saat ini adalah negara ekonomi terkuat ke-12 di dunia, dan ke-6 di Eropa. Kota-kota di Spanyol dikenal dengan keindahan taman dan bangunannya yang bersejarah. Namun tahukah Anda, jika sebagian taman dan bangunan di kota-kota besar Spanyol banyak yang merupakan warisan peradaban Islam?

Menapaki jejak-jejak Islam di negara Eropa Barat daya begitu terasa ketika melihat bangunan tinggi nan megah. Sebut saja salah satunya adalah Istana Alhamra di Spanyol. Istana ini didirikan oleh Kerajaan Bani Ahmar atau bangsa Moor dari Afrika Utara. Bani Ahmar adalah penguasa kerajaan Islam terakhir yang berkuasa di Andalusia (Spanyol). Istana Alhamra berdiri kokoh di bukit La Sabica, Granada, Spanyol. Ia menjadi saksi bisu sekaligus bukti sejarah kejayaan Islam di Spanyol

Sejarah mencatat, nama Alhamra berasal dari bahasa Arab, 'hamra’, bentuk jamak dari 'ahmar' yang berarti “merah”. Dinamakan Istana Alhamra karena bangunan ini banyak dihiasi ubin-ubin dan bata-bata berwarna merah, serta penghias dinding yang agak kemerah-merahan dengan keramik yang bernuansa seni Islami, di samping marmer-marmer yang putih dan indah.

Namun demikian, ada pula yang berpendapat, nama Alhamra diambil dari Sultan Muhammad bin Al-Ahmar, pendiri kerajaan Islam Bani Ahmar –kerajaan Islam terakhir yang berkuasa di Spanyol (1232-1492 M). Selain menjadi bukti kejayaan Islam, Istana Alhamra yang bernilai seni arsitektur tinggi ini juga memperlihatkan peradaban tinggi umat Islam ketika itu.

Istana Alhamba adalah simbol puncak kejayaan Islam di Spanyol. Islam masuk ke negeri ini dibawa oleh pasukan Islam pimpinan Thariq bin Ziyad. Pasukan Islam sendiri datang untuk memerdekakan Andalusia (Spanyol) dari kekacauan hebat atas permintaan Gubernur Ceuta, Julian.

Thariq membawa sekitar 12.000 pasukan ke Gibraltar pada Mei 711 M. Ia memasuki Spanyol lewat selat di antara Maroko dan Spanyol yang kemudian diberi nama sesuai dengan namanya, Jabal Thariq. Pada 19 Juli 711 M pasukan Islam mengalahkan pasukan musuh di daerah Muara Sungai Barbate, dan terus menguasai kota-kota penting seperti: Toledo, Kordoba, Malaga, dan Granada, hingga akhirnya Spanyol berada di bawah kekuasaan Khilafah Bani Umayyah (Suriah).

Sejumlah kerajaan Islam pun berdiri di Spanyol, seperti di Toledo (Raja Muda, 711-756 M), Malaga (Raja Hamudian, 1010-1057 M), Saragoza (Raja Tujbiyah, 1019-1039 M dan Raja Huddiyah, 1039-1142 M), Valencia (Raja Amiriyah, 1021-1096 M), Badajos (Raja Aftasysyiyah, 1022-1094 M), Sevilla (Raja Abbadiyah, 1023-1069 M), dan Toledo (Raja Dzun Nuniyah, 1028-1039 M).

Hampir delapan abad lamanya Islam berkuasa di Spanyol dengan ibukotanya Cordoba. Selain Istana Alhamra, satu lagi monumen penting kejayaan Islam di Spanyol adalah Masjid Cordoba yang kini beralih fungsi menjadi Gereja Santa Maria de la Sede atau katedral “Virgin of Assumption”.

Istana Alhamra didirikan oleh kerajaan Bani Ahmar atau bangsa Moor (Moria) dari daerah Afrika Utara. Bangsa Moor adalah penguasa kerajaan Islam terakhir yang berkuasa di Andalusia (Spanyol), Daulah Bani Ahmar (1232-1492 M). Kerajaan ini didirikan oleh Sultan Muhammad bin Al-Ahmar atau Bani Nasr yang masih keturunan Sa’id bin Ubaidah, seorang sahabat Rasulullah saw dari suku Khazraj di Madinah.

Daulah Bani Ahmar bermula dari kerajaan kecil, namun dengan cepat menjadi kerajaan kuat dan megah, hingga berkuasa selama sekitar 2,5 abad. Selain keshalihan dan kecerdasan para pemimpinnya, kejayaan Daulah Bani Ahmar ditunjang oleh keadaan alam wilayah Granada yang termasuk bukit atau pegunungan yang indah, dengan ketinggian kurang lebih 150 m, dan luas kira-kira 14 ha. Dengan kondisi geografis demikian, daerah kerajaan ini sulit dimasuki musuh. Daerah ini sekarang dinamakan Bukit La Sabica.

Raja-raja Bani Ahmar sangat memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Saat itu bidang pertanian dan perdagangan sangat maju. Yang menyebabkan kerajaan ini jatuh adalah kerapuhan dari dalam, yakni sengketa yang terjadi di dalam kerajaan sendiri.

Sultan Muhammad XII Abu Abdillah an Nashriyyah, raja terakhir Bani Ahmar, tidak berhasil mempertahankan kerukunan keluarga kerajaan. Akhirnya energi mereka terkuras. Akibat fatalnya, kerajaan pun tidak dapat bertahan ketika datang serangan dari dua kerajaan Kristen, Raja Ferdinand V dan Ratu Isabella. Kedua pemimpin kerajaan ini pula yang mendukung penjelajahan Columbus tahun 1492 M.

Pada pertengahan 1491, Raja Ferdinand V mengepung Granada selama tujuh bulan. Ia berhasil menguasai kota Malaga –kota pelabuhan terkuat di Andalusia, lalu Guadix dan Almunicar, Baranicar, dan Almeria. Basis kerajaan Bani Ahmar, Granada, pun akhirnya tunduk, tepatnya tanggal 2 Januari 1492 M/2 Rabiul Awwal 898 H. Kota ini diserahkan oleh raja terakhir Bani Ahmar, Abu Abdillah. Prosesi penyerahan Granada dilakukan di halaman Istana Alhamra.

Keberhasilan Raja Ferdinand V dan Ratu Isabella menguasai Granada, membuat Paus Alexander VI (1431-1503) yang terkenal dengan perjanjian Tordesillas-nya tahun 1494 M memberi gelar kepada raja dan ratu ini sebagai “Catholic Monarch” atau “Los Reyes Catolicos” atau Raja Katolik.

Kejatuhan Daulah Bani Ahmar merupakan akhir sejarah kejayaan Islam di Spanyol. Pasca kejatuhan kerajaan Islam terakhir ini, umat Islam diberi dua pilihan: berpindah keyakinan (masuk Kristen) atau keluar dari tanah Spanyol.

Memasuki Abad 16, Andalusia (Spanyol) yang selama 8 Abad dalam kekuasaan Islam, bersih dari keberadaan umat Islam. Kemegahan dan keindahan Istana Alhamra pun luntur setelah menjadi Istana Kristen. Demikian pula Masjid Cordova yang dijadikan katedral “Virgin of Assumption”.

Namun Islam tidak benar-benar lenyap di negeri ini. Kini umat Islam di Spanyol diperkirakan sudah mencapai 750.000 orang (data sensus 2000) dari 40 juta jumlah total penduduk Spanyol. Islam menggeliat bangkit ketika pemerintah Spanyol mengakui Islam sebagai agama resmi berdasarkan UU Kebebasan Beragama yang disahkan pada Juni 1967.

Pembangunan Istana Alhamra dilakukan secara bertahap, antara tahun 1238 M dan 1358 M. Istana ini dilengkapi taman juga bunga-bunga indah nan harum. Ada juga Hausyus Sibb (Taman Singa) yang dikelilingi oleh 128 tiang yang terbuat dari marmer.

Di taman ini pula terdapat kolam air mancur yang dihiasi dengan 12 patung singa yang berbaris melingkar, yakni dari mulut patung singa-singa tersebut keluar air yang memancar. Di dalamnya terdapat berbagai ruangan yang indah, yaitu Ruangan Al-Hukmi (Baitul Hukmi), yakni ruangan pengadilan dengan luas 15x15 meter yang dibangun oleh Sultan Yusuf I (1334-1354); Ruangan Bani Siraj (Baitul Bani Siraj), ruangan berbentuk bujur sangkar dengan luas bangunan 6,25x6,25 m yang dipenuhi dengan hiasan-hisan kaligrafi Arab.

Ada pula Ruangan Bersiram (Hausy ar-Raihan), ruangan yang berukuran 36,6 m x 6,25 m yang terdapat pula al-birkah atau kolam pada posisi tengah yang lantainya terbuat dari marmer putih. Luas kolam ini 33,50 m x 4,40 m dengan kedalaman 1,5 m, yang di ujungnya terdapat teras serta deretan tiang dari marmer; Ruangan Dua Perempuan Bersaudra (Baitul al-Ukhtain), yaitu ruang yang khusus untuk dua orang bersaudara perempuan Sultan Al-Ahmar; Ruangan Sultan (Baitul al-Mulk); dan masih banyak ruangan-ruangan lainnya, seperti ruangan Duta, ruangan As-Safa’, ruangan Barkah, Ruangan Peristirahatan sultan dan permaisuri. Di sebelah utara ruangan ini ada sebuah masjid yakni Masjid Al-Mulk.

Selain itu, istana merah ini dikelilingi oleh benteng dengan plesteran yang kemerah-merahan. Yang lebih unik lagi pada bagian luar dan dalam istana ini ditopang oleh pilar-pilar panjang sebagai penyangga juga penghias istana Alhambra. Dinding luar dan dalam istana banyak dihiasi kaligrafi dengan ukiran khas yang sulit dicari tandingannya hingga kini.

Pada masa kejayaannya, istana ini dilengkapi pula dengan barang-barang berharga yang terbuat dari logam mulia, perak, dan permadani-permadani indah yang masih alami (buatan tangan).


*Dikutip dari berbagai sumber
(rmd/rmd)

Tahun Baru Masehi : Sejarah Kelam Penghapusan Jejak Islam


Dalam beberapa hari ke depan, tahun 2012 akan segera berganti, dan tahun 2013 akan menjelang. Ini tahun baru Masehi, tentu saja, karena tahun baru Hijriyah telah terjadi satu pekan yang lalu. Bagi kita orang Islam, ada apa dengan tahun baru Masehi?
Sejarah Tahun Baru Masehi
Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir.
Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.
Perayaan Tahun Baru
Saat ini, tahun baru 1 Januari telah dijadikan sebagai salah satu hari suci umat Kristen. Namun kenyataannya, tahun baru sudah lama menjadi tradisi sekuler yang menjadikannya sebagai hari libur umum nasional untuk semua warga Dunia.
Pada mulanya perayaan ini dirayakan baik oleh orang Yahudi yang dihitung sejak bulan baru pada akhir September. Selanjutnya menurut kalender Julianus, tahun Romawi dimulai pada tanggal 1 Januari. Paus Gregorius XIII mengubahnya menjadi 1 Januari pada tahun 1582 dan hingga kini seluruh dunia merayakannya pada tanggal tersebut.
Perayaan Tahun Baru Zaman Dulu
Seperti kita ketahu, tradisi perayaan tahun baru di beberapa negara terkait dengan ritual keagamaan atau kepercayaan mereka—yang tentu saja sangat bertentangan dengan Islam. Contohnya di Brazil. Pada tengah malam setiap tanggal 1 Januari, orang-orang Brazil berbondong-bondong menuju pantai dengan pakaian putih bersih. Mereka menaburkan bunga di laut, mengubur mangga, pepaya dan semangka di pasir pantai sebagai tanda penghormatan terhadap sang dewa Lemanja—Dewa laut yang terkenal dalam legenda negara Brazil.

Seperti halnya di Brazil, orang Romawi kuno pun saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci untuk merayakan pergantian tahun. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Janus, dewa pintu dan semua permulaan. Menurut sejarah, bulan Januari diambil dari nama dewa bermuka dua ini (satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang).

Sedangkan menurut kepercayaan orang Jerman, jika mereka makan sisa hidangan pesta perayaan New Year’s Eve di tanggal 1 Januari, mereka percaya tidak akan kekurangan pangan selama setahun penuh. Bagi orang kristen yang mayoritas menghuni belahan benua Eropa, tahun baru masehi dikaitkan dengan kelahiran Yesus Kristus atau Isa al-Masih, sehingga agama Kristen sering disebut agama Masehi. Masa sebelum Yesus lahir pun disebut tahun Sebelum Masehi (SM) dan sesudah Yesus lahir disebut tahun Masehi.
Pada tanggal 1 Januari orang-orang Amerika mengunjungi sanak-saudara dan teman-teman atau nonton televisi: Parade Bunga Tournament of Roses sebelum lomba futbol Amerika Rose Bowl dilangsungkan di Kalifornia; atau Orange Bowl di Florida; Cotton Bowl di Texas; atau Sugar Bowl di Lousiana. Di Amerika Serikat, kebanyakan perayaan dilakukan malam sebelum tahun baru, pada tanggal 31 Desember, di mana orang-orang pergi ke pesta atau menonton program televisi dari Times Square di jantung kota New York, di mana banyak orang berkumpul. Pada saat lonceng tengah malam berbunyi, sirene dibunyikan, kembang api diledakkan dan orang-orang menerikkan “Selamat Tahun Baru” dan menyanyikan Auld Lang Syne.Di negara-negara lain, termasuk Indonesia? Sama saja!
Bagi kita, orang Islam, merayakan tahun baru Masehi, tentu saja akan semakin ikut andil dalam menghapus jejak-jejak sejarah Islam yang hebat. Sementara beberapa pekan yang lalu, kita semua sudah melewati tahun baru Muharram, dengan sepi tanpa gemuruh apapun. (sa/berbagaisumber)er)

Sosial Shere

>

Entri Populer

Flag Counter