Jejak Islam Di Mali


Islam masuk ke Afrika Barat pada abad IX. Islam dibawa oleh Muslim Berber dan Tuareg yang sebagian besar merupakan pedagang. Para sufi juga berperan pada penyebaran agama Islam di daerah tersebut. Pada awal-awal masuknya Islam di kawasan sebelah barat Afrika itu, Kota Timbuktu, Gao, dan Kano dijadikan sebagai pusat pengajaran Islam.

Mali juga memiliki peran penting dalam penyebaran Islam ketika masih dipimpin oleh Raja Mansa Musa (1312-1337). Dia telah berhasil menularkan pengaruh Islam di Mali kepada kota besar lainnya, seperti Timbuktu, Gao, dan Djenne. Bahkan berkat dirinya, pada suatu masa, Timbuktu menjadi salah satu pusat kebudayaan yang tidak hanya berpengaruh di Afrika, tetapi juga di dunia. Mansa Musa adalah seorang Muslim yang taat. Sepanjang masa kepemimpinannya, dia telah membangun banyak masjid. Mansa Musa menjadi figur yang semakin kuat di mata rakyatnya ketika dia memutuskan untuk melakukan perjalanan haji ke Makkah. Perjalanan itu bahkan masuk dalam catatan sejarah bangsa Eropa.
Salah satu daerah yang terkenal sebagai pusat peradaban Islam di Mali pada abad ke-12 M adalah Timbuktu. Pada abad itu, Timbuktu telah menjelma sebagai salah satu kota pusat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam yang masyhur. Di era kejayaan Islam, Timbuktu juga sempat menjadi sentra perdagangan terkemuka di dunia. Rakyat Timbuktu pun hidup sejahtera dan makmur.
Secara gemilang, sejarawan abad XVI, Leo Africanus, menggambarkan kejayaan Timbuktu dalam buku yang ditulisnya. “Begitu banyak hakim, doktor, dan ulama di sini (Timbuktu). Semua menerima gaji yang sangat memuaskan dari Raja Askia Muhammad—penguasa Negeri Songhay. Raja pun menaruh hormat pada rakyatnya yang giat belajar,” tutur Africanus.
Di era keemasan Islam, ilmu pengetahuan dan peradaban tumbuh sangat pesat di Timbuktu. Rakyat di wilayah itu begitu gemar membaca buku. Menurut Africanus, permintaan buku di Timbuktu sangat tinggi. Setiap orang berlomba membeli dan mengoleksi buku. Sehingga, perdagangan buku di kota itu menjanjikan keuntungan yang lebih besar dibanding bisnis lainnya.
Sejak abad ke-11 M, Timbuktu mulai menjadi pelabuhan penting—tempat beragam barang dari Afrika Barat dan Afrika Utara diperdagangkan. Pada era itu, garam merupakan produk yang amat bernilai. Di Timbuktu, garam dijual atau ditukar dengan emas. Kemakmuran kota itu menarik perhatian para sarjana berkulit hitam, pedagang kulit hitam, dan saudagar Arab dari Afrika Utara.
Saat ini, Mali diakui sebagai negara yang mayoritas penduduknya Islam dan sangat toleran kepada pemeluk agama yang lain. Bahkan, perbedaan agama di dalam satu keluarga tidak terlalu menjadi masalah di sana. Mereka juga saling menghadiri perayaan hari besar agama. Selain itu, tidak ada pembatasan peran wanita di negara tersebut. Wanita bisa dengan bebas ikut aktif dalam bidang ekonomi, sosial, ataupun politik. Namun, seperti kebanyakan negara berkembang lainnya, Islam di sana masih mendapatkan pengaruh dari kepercayaan-kepercayaan tradisional.
Dari sudut pandang konstitusi, negara tersebut juga sangat menerapkan kebebasan beragama bagi warga negaranya. Pemerintah sangat menghargai kegiatan ibadah agama apa pun dan melindungi hak setiap warga negaranya untuk melakukan ibadah. Kekerasan terhadap agama lain tidak bisa ditoleransi oleh undang-undang dasar mereka.
Meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam, Mali bukan negara yang berdasarkan agama tertentu. Bahkan, negara tersebut cenderung memilih untuk menjadi sekuler, memisahkan kehidupan beragama dengan kehidupan sosial. Pada pemilihan presiden pada April 2002 yang lalu itulah, pemerintah dan partai politik sepakat untuk menjadikan Mali sebagai negara sekuler.
MASJID RAYA NIONO – Masjid Lumpur Khas Muslim Mali
Mali, sebuah negara Muslim yang terkurung daratan di Afrika Barat, kaya akan bangunan bersejarah. Karya-karya arsitektur Islam di negeri yang sempat menjadi pusat peradaban Islam di abad ke-12 M itu dikenal memiliki keunikan tersendiri. Salah satu karya arsitektur yang luar biasa di Mali adalah Masjid Raya Niono. Secara arsitektur, masjid itu  hampir mirip dengan Masjid Djenne. Uniknya, kedua masjid itu terbuat dari lumpur dan kayu dari pohon palem. Bentuk bangunannya pun tidak seperti arsitektur masjid yang ada di negara Muslim lainnya.
Masjid Raya Niono terletak di titik pusat Desa Niono. Masjid itu berdiri kokoh dengan bahan dasar batu bata yang terbuat dari lumpur dan tanah liat. Masjid ini sangat mudah ditemukan karena terletak di dekat pasar Desa Niono. Beberapa pintu masuk masjid dibangun untuk mengakomodasi jamaah yang datang melalui tiga jalan besar yang melewati masjid itu.
Sang desainer, Lassine Minta, hanya menggunakan pekerja setempat dan bahan-bahan seadanya ketika membangun masjid tersebut. Pada sekitar 1945 hingga 1948, Masjid Raya Niono pada mulanya hanya dibangun di atas areal seluas 119 meter persegi.
Bangunan itu berdiri dengan luasan delapan bay (tiang-tiang penyangga) dari utara ke selatan dan tiga bay dari timur ke barat. Pada bagian paling timur dibuat mihrab yang menghadap langsung ke Makkah. Pada 1955, pengelola masjid memutuskan untuk memperluas areal masjid. Mereka lalu menambahkan enam tiang penyangga lagi.
Namun, pada 1969, kebutuhan untuk memperluas masjid kembali muncul. Bahkan sudah merupakan keharusan karena tuntutan kebutuhan bagi jamaah. Perluasan areal masjid itu tentunya diukur dari kebutuhan masyarakat akan tempat ibadah yang ideal. Terutama bangunan tempat ibadah yang bisa menampung kaum Muslim di daerah tersebut ketika melakukan shalat Jumat, shalat lima waktu, atau untuk melakukan perayaan di hari-hari besar.
Paling tidak, upaya untuk memperbesar bangunan masjid itu bisa memungkinkan beberapa baris jamaah ketika shalat dilangsungkan. Tidak hanya itu saja, harus diperhitungakan pula bahwa setiap jamaah memiliki ruang yang cukup untuk melakukan gerakan-gerakan shalat. Selain itu, disediakan cukup ruang
untuk lalu-lalang yang tentunya tidak mengganggu mereka yang sedang shalat.
Saat menambah luas masjid, sang arsitek juga sudah memperhitungkan bahwa bangunan masjid itu harus dibuat senyaman mungkin. Sehingga, orang-orang yang datang bisa dengan khusyuk beribadah. Desain bangunan harus bisa beradaptasi dengan temperatur negara Mali yang cenderung ekstrem, bahkan terkadang sangat panas.
Sang arsitek, Lassine Minta, menambahkan halaman pada areal masjid untuk mengakomodasi situasi ketika jamaah terlalu padat. Selain itu, untuk mangatasi hawa panas, beberapa kipas angin elektrik dipasang di beberapa bagian di masjid. Namun, terkadang suasana menjadi sangat gerah pada waktu-waktu tertentu dan kipas angin tidak bisa meredakan kegerahan itu. Solusinya, Lassine Minta membuat ventilasi serta jendela-jendela besar.
Kini, masjid tersebut memiliki luas sekitar 726 meter persegi. Perluasan itu merupakan usaha selama 25 tahun, mulai dari 1948 sampai 1972. Rekonstruksi pada masjid itu meliputi bangunan utamanya dan menambahkan bangunan lain yang terpisah dengan bangunan utama. Bangunan seluas 140 meter persegi itu difungsikan sebagai tempat shalat jamaah wanita. Kemudian, dibuat pula bangunan yang memungkinkan bagi pengelola masjid untuk tinggal, dan disediakan juga gudang untuk menaruh barang-barang keperluan perawatan masjid. Corak material bangunan Masjid Raya Niono terbilang sangat khas dan mengikuti pola bangunan yang sudah ada di daerah tersebut.
Biasanya, rumah-rumah atau bangunan di Desa Niono berbahan dasar lumpur tanah liat yang kemudian dibentuk menjadi batu bata. Agar mengeras, batu bata tersebut tidak dibakar seperti kebanyakan dilakukan di Indonesia, akan tetapi hanya dijemur di panas matahari. Terkadang, untuk lebih memperkuat batu bata itu ditambahkan dedak pada proses pembuatannya. Lalu, untuk fondasi dan rangka bangunan biasa digunakan kayu. Terutama kayu dari pohon Palmyra.
Material-material modern seperti semen biasanya dipakai untuk fondasi dan tambahan untuk atap serta digunakan pula sebagai plester. Sementara besi dipakai untuk sambungan rangka ataupun frame pada jendela dan pintu. Namun, material modern itu sangat jarang digunakan. Sebab, dari sisi ekonomi, penggunaan material modern jauh lebih mahal karena harus diimpor dari negara lain. Sehingga, material itu kurang diminati, tidak hanya dalam pembangunan rumah bagi masyara kat sekitar, tetapi juga ketika akan membangun masjid.
Cara-cara tradisional dianggap lebih sederhana dan hemat biaya. Salah satu kekurangan penggunaan batu bata yang hanya dijemur di panas matahari adalah perlunya perawatan dan perbaikan yang intensif setiap tahunnya. Tidak hanya pada permukaan luar yang diperhatikan, akan tetapi juga pada permukaan di bagian dalam masjid.

0 komentar:

Posting Komentar

Sosial Shere

>

Entri Populer

Flag Counter