1.
Abdullah bin Abdul Muthalib menikah dengan Aminah binti
Wahab dari kabilah Zuhrah, kemudian pergi ke Syam (Gazzah, jalur Gaza) bersama
dengan Kafilah perdagangan Quraisy.
Sepulang dari perdagangan, mereka mampir
ke Madinah, Abdullah mampir di rumah saudara dari ibunya dari kabilah An-Najjar
karena mengeluh sakit. Dia menginap karena sakit beberapa lamanya, kemudian
akhirnya meninggal dan dikuburkan di Madinah. Pada waktu itu, Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam masih dalam kandungan, umur Abdullah pada waktu
itu adalah 25 tahun,[1] masa yatim inilah yang dimaksudkan dengan firman Allah
Ta’ala:
“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang
yatim, lalu Dia melindungimu?” (QS. Adh-Duha: 6)
2.
Tidak ada perbedaan pendapat bahwa Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam dilahirkan pada hari Senin, berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Muslim tatkala Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
ditanya tentang puasa hari Senin, Beliau bersabda, “Hari itu adalah hari
kelahiran saya dan hari saya menerima wahyu.”[2]
3.
Pendapat yang benar menurut mayoritas ulama adalah beliau
dilahirkan di Mekah. Adapun tempat kelahirannya di Mekah, ada yang mengatakan
di sebuah rumah yang ada di Syi’ib Bani Hasyim, ada yang mengatakan di sebuah
rumah dekat Shafa'[3]. Selain itu, orang yang bertindak sebagai bidannya adalah
ibunda Abdurrahman bin Auf Radhiyallalzu Anhu wa Anhu.[4]
Bulan kelahiran Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam
Ulama berbeda pendapat, ada yang
mengatakan pada bulan Rabiul Awal, ada yang mengatakan di bulan Ramadhan,
dengan dalih bahwa beliau diutus setelah berusia 40 tahun, sementara beliau
diutus pada bulan Ramadhan, berarti kelahirannya adalah pada bulan Ramadhan.[5]
Pendapat yang benar adalah beliau
dilahirkan pada bulan Rabiul Awal, tetapi setelah itu, mereka kembali berbeda
pendapat tentang hari apa dalam Bulan Rabiul Awal beliau dilahirkan? Ada yang
mengatakan tanggal 2, ada yang mengatakan tanggal 8, ada yang mengatakan
tanggal 9, ada yang mengatakan tanggal 10, ada yang mengatakan tanggal 12, ada
yang mengatakan tanggal 17, dan ada yang mengatakan pada tangal 22, semuanya
pada bulan Rabiul Awal.[6]
Tahun Kelahiran
Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata, “Nabi
Shallallahu Alaihi zva Sallam dilahirkan pada tahun Gajah dan inilah yang
terkenal di kalangan mayoritas ulama. Ibrahim bin Al-Mundzir berkata, ‘Dan yang
tidak diragukan oleh seorang pun dari ulama kita adalah beliau dilahirkan pada
tahun Gajah,[7] tahun 571 Miladiyah. Dari Abu Umamah Radhiyallahu Anhu, dia
berkata Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Ibuku telah berminpi
melihat ada cahaya keluar dari dirinya yang menerangi istana-istana yang ada di
Syam.”[8]
Setelah kelahirannya, ibunya mengirimnya
ke kakeknya, Abdul Muththalib. Dia menggendongnya dan membawanya masuk ke dalam
Ka’bah. Setelah sampai pada hari yang ketujuh, dia memotong kambing dan
mengundang Quraisy. Setelah mereka selesai makan, mereka bertanya, “Wahai Abdul
Muththalib, siapa nama anak kamu yang karenanya kamu memanggil kami?”
Abdul Muththalib
berkata, “Saya namakan dia Muhammad.”
Mereka
bertanya lagi, “Bagaimana kamu menamakan anakmu dengan nama yang bukan nama
dari kakek kamu dan juga bukan nama yang dikenal pada kaummu?”
Abdul Muththalib berkata, “Saya berharap
penduduk bumi memujinya dan penduduk langit pun memujinya.”
Nama Muhammad adalah nama langka di
kalangan Arab jahiliah, kecuali beberapa orang tua yang mengetahui bahwa Nabi
akhir zaman adalah bernama Muhammad dan berharap anaknya menjadi nabi, maka dia
pun menamakan anaknya dengan Muhammad.
Selain itu, Allah Ta’ala, menjaga setiap
orang yang bernama Muhammad pada waktu itu dari mengaku sebagai nabi, atau
seorang menganggapnya sebagai nabi, atau bahkan menampakkan masalah yang
membuat orang lain bertanya-tanya.[9]
Foot Note:
[1] Lihat Ibnu Katsir, Al-Bidayah
wan-Nihayah, 2/263. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Zad Al-Ma’ad, 1/6.
[2] Muslim, 2/819 nomor 197.
[3] Lihat Al-Suhaili, ar-Raudh Al ‘Anfu,
1/184. As-Syami, Subulul Huda, 1/408.
[4] Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah,
2/264.
[5] Ibnu Katsir menukil pernyataan ini
dalam kitabnya Al-Bidayah, 2/260, Dia berkata, “Ini sangat aneh” Lalu dia
mengomentari dalil yang saya isyaratkan tadi dengan berkata, “Perlu dikaji
ulang.”
[6] Silakan rujuk kembali tentang
perbedaan pendapat ini pada buku-buku berikut ini;
1) Ibnu Hisyam, As-Sirah
An-Nabawiyah, 1/171.
2) Abu Hatim Al-Bisti,
As-Sirah An-Nabawiyah wa Akhbar Al-Khulafa’ hal.33-34.
3) Ibnu Katsir, Al-Bidayah
Wan-Nihayah, 2/60.
4) Adz-Dzahabi, As-Sirah
An-Nabawiyah, hal.7.
5) Al-Manshur Furi,
Rahmatan lil’alamin,1/33.
6) Al-Mubarak Furi,
ar-Rakhik Al-Makhtum, hal.62.
[7] lihat Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa
An-Nihayah, 2/276, Adz-Dzahabi, As-Sirah An Nabawiyah, hal.6.
[8] Ad-Darami, Sunan,1/17. nomor 13,
pentahqiqnya berkata; diriwayatkan juga oleh Ahmad, At-Thabrani dalam Kitab
Al-Kabir, dan sanad Ahmad hasan, Al-Albani menshahihkan dalam kitab Al-Jami’
As-Shagir, hadits nomor 3451.
[9] Lihat; Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa
Al-Nihayah, 2/259.
Sumber: Fikih Sirah, Prof.Dr.Zaid bin
Abdul Karim az-Zaid, Penerbit Darussunnah