Teknologi Informasi:
Kesiapan Pustakawan Memanfaatkannya
Ardoni
Program Studi
Ilmu Informasi Perpustakaan dan Kearsipan
Universitas
Negeri Padang
Abstract
Information
technology is being more sophisticated. As the one of information worker, it is
logically accepted that librarians make the information technology much more
useful in their daily activities. If the librarians do, the application of
automation system at libraries in Indonesia would not as slow as what occurred
nowadays. There are six factors should be considered, i.e. the librarians
attitude, the librarians capability, library application program engineering,
the librarians’ credit point rules, the curriculum of librarianship education,
and profession organization.
Kata
kunci: Teknologi
Informasi, Sikap Pustakawan, Kemampuan Pustakawan, Program Aplikasi, Angka
Kredit, Kurikulum, Organisasi Profesi.
A.
Pendahuluan
Ledakan
informasi merupakan pertanda dari peluang dan tantangan yang akan dihadapi
manusia di masa depan. Pembengkakan volume informasi yang dicetuskan,
dipindahkan, dan diterima akan terus dan semakin menggelembung. Seiring dengan
itu, makna informasi pun meningkat pula. Pada masa itu, manusia akan hidup
dalam suatu tatanan masyarakat “baru,” yakni masyarakat informasi.
Informasi
memerlukan saluran untuk berpindah. Saluran tersebut tidak lain dan tidak bukan
adalah saluran komunikasi. Teknologi telah siap menghadapi kebutuhan akan
saluran dimaksud dengan semakin berkembangnya teknologi komunikasi yang
memungkinkan terjadinya komunikasi antara pengirim dan penerima yang berjauhan
dalam waktu singkat. Akibatnya, batas-batas ruang dan waktu menjadi semakin kabur.
Dalam
pada itu, hasil temuan Howard Aiken yang bernama komputer semakin hari semakin canggih.
Bila pada mulanya komputer berukuran besar hanya bisa digunakan sebagai alat
hitung, maka sekarang komputer berukuran kecil dapat dipakai untuk
berbagai-bagai keperluan. Bila pada mulanya komputer hanya bisamemindahkan
informasi yang diolahnya ke media cetak atau bahkan hanya ke layar monitornya
sendiri, maka sekarang computer dapat dipakai untuk memindahkan sejumlah besar
informasi menempuh jarak yang jauh dalam waktu singkat. Semua itu adalah karena
kecanggihan komputer “menumpang” kecanggihan alat komunikasi.
Sementara
itu, perpustakaan adalah salah satu dari lembaga-lembaga pengelola informasi, terutama
informasi yang bermuatan pengetahuan. Perpustakaan, dengan demikian, merupakan salah
satu sarana bagi upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Bagaimanapun, dalam era
ini, pekerja informasi tidak lagi hanya pustakawan, namun juga pialang
informasi, pekerja di bidang penerbitan, pangkalan data bibliografis, jasa pengindeksan
khusus, manajemen media (Sulistyo-Basuki, 1997: 2). Ledakan informasi yang
melibatkan seluruh infrastruktur informasi tersebut membuat pustakawan
mempunyai “saingan.” Persaingan ini dapat menjadikan pustakawan tidak berarti,
terlibat dalam arti tetap bertahan hidup, atau menjadi ujung tombak dalam
penyebaran informasi. Akan tetapi, “kalah” atau “menang”, pustakawan mestilah berupaya
melaksanakan tugasnya di bidang informasi, terutama dalam rangka menjalankan fungsi
pendidikan yang melekat pada perpustakaan.
Ledakan
informasi kemudian mengakibatkan pengolahan (sumber) informasi di perpustakaan
seakan-akan lamban. Sumber informasi yang semestinya dikumpulkan, diolah,
disebarkan, dan dilestarikan tidak lagi hanya berbentuk media cetak atau audiovisual,
melainkan bertambah dengan adanya komputer, laserdisk (LD), CDROM (Compact Disk
Read Only Memory), VCD (Video Compact Disk), dan sebagainya (Septiyantono,
1997: 1 et seq.). Dalam penelusuran informasi muncul kebutuhan akan penambahan
jumlah titik sibak (access point) selain titik sibak “konvensional,” seperti pengarang,
judul, dan subjek. Untuk semua itu, perpustakaan berupaya meningkatkan kinerjanya,
antara lain dengan menerapkan teknologi informasi. Pertanyaannya adalah siapkah
pustakawan memanfaatkan teknologi tersebut?
B. Teknologi
Informasi
Dalam
The Dictionary of Computers, Information Processing and Telecommunications (Hariyadi,
1993: 253), teknologi informasi diberi batasan sebagai teknologi pengadaan, pengolahan,
penyimpanan, dan penyebaran berbagai jenis informasi dengan memanfaatkan komputer
dan telekomunikasi yang lahir karena “... adanya dorongan-dorongan kuat untuk menciptakan
teknologi baru yang dapat mengatasi kelambatan manusia mengolah informasi..."
(Pendit, 1994: 37). Kelambatan itu terasa sebab volume informasi semakin cepat membengkak.
Pendit menambahkan bahwa teknologi informasi memungkinkan konsumsi informasi
dalam jumlah besar dan kecepatan luar biasa. Kemampuan tersebut terutama
disebabkan oleh “ujung tombak” teknologi informasi, yakni komputer.
Charles
Sanders Peirce (Lubbe dan Nauta, 1992: 5-6) mengemukakan dalam filosofi
"triadic"-nya (lihat Gambar 1.) bahwa teknologi informasi adalah
salah satu sudut segitiga sama sisi yang melambangkan teknologi; dua sudut
lainnya adalah energi dan materi. Teknologi informasi sendiri lahir sekitar
1947 ditandai dengan ditemukannya komputer sebagai komponen utamanya, setelah
masa teknologi yang mengeksploitasi materi 50.000 tahun sebelum Masehi sampai
abad ke-18 dan masa teknologi yang mengeksploitasi energi mulai abad ke-18 sampai
1947.
Lebih
lanjut, Peirce (Lubbe dan Nauta, 1992: 6) menyatakan bahwa teknologi informasi
dapat pula dilambangkan sebagai segitiga sama sisi dengan tiga titik sudutnya
masing-masing automasi, simulasi/model, dan kecerdasan buatan/sistem berbasis
pengetahuan (system pakar).
1. Automasi
Di
pusat-pusat dokumentasi dan informasi (pusdokinfo), termasuk perpustakaan,
automasi adalah istilah yang sering dipakai untuk menyatakan penerapan komputer
untuk mengolah, menyimpan, dan menyebarkan informasi. Komputer dapat
dimanfaatkan di perpustakaan dengan tersedianya perangkat lunak yang sesuai,
antara lain TINLib, Inmagic, dan Datatrek (Hariyadi, 1992: 253-66). Perangkat
lunak tersebut ada yang dibuat “terbuka” sehingga untuk memakainya pustakawan
mesti membangun pangkalan data sendiri, dan ada pula yang dibuat secara khusus untuk
perpustakaan tertentu (tailor made).
Tujuan
automasi di perpustakaan adalah untuk mengatasi pekerjaan yang menumpuk, meningkatkan
efisiensi, memberikan pelayanan baru serta mengadakan kerja sama dan sentralisasi
(Kusumaningrum, 1998: 119).
Tujuan
demikian dapat dicapai dengan memanfaatkan komputer karena kemampuan komputer
dalam menyimpan sejumlah besar data, dan kemampuannya dalam menggabungkan data
sesuai dengan situasi serta seperangkat kondisi yang diberikan. Komputer dapat
digunakan untuk melakukan pekerjaan rutin yang berulang-ulang dengan cara yang sama,
seperti pembuatan daftar pengadaan bahan pustaka (accession list),
pengadministrasian peminjaman bahan pustaka, dan pencetakan katalog kartu.
Jadi, dengan adanya system automasi diharapkan semua kegiatan rutin dan
penelusuran informasi di pusdokinfo dapat berlangsung secara mudah, cepat, dan
akurat (Yusuf, 1988: 56).
2. Simulasi/model
Menurut
Peirce (Lubbe dan Nauta, 1992: 6) simulasi dan model berhubungan dengan
karakter aktualitas dan referensial. Tujuan simulasi dan model adalah
menggambarkan atau menjelaskan dunia dengan cara/gambar yang mudah dipahami. Di
pusdokinfo Indonesia, simulasi dan model belum begitu banyak digunakan.
Biasanya simulasi/model lebih banyak diperlukan di tempat-tempat pelatihan,
misalnya pelatihan pilot pesawat terbang, pelatihan militer, dan lain-lain.
3.
Kecerdasan Buatan dan Sistem Berbasis Pengetahuan
Kecerdasan
buatan (artificial inteligence) adalah produk dari pemikiran bahwa komputer
dapat diprogram untuk memiliki kecerdasan menyerupai manusia, seperti belajar,
melakukan penalaran, adaptasi, dan mengoreksi pengetahuan yang dimilikinya
(Zager & Smadi, 1992: 146). Batasan yang lebih praktis adalah kecerdasan buatan
merupakan kajian tentang pemikiran atau ide yang memungkinkan komputer menjadi
cerdas (Carrico; Girard; Jones, 1989: 3). Di pusdokinfo, kecerdasan buatan
dapat dipakai di layanan yang membutuhkan konsultasi seperti layanan rujukan, namun
produk teknologi ini belum dimanfaatkan oleh pustakawan.
C. Teknologi
Informasi dan Pustakawan
Bagaimanapun,
dari ketiga “titik sudut” teknologi informasi, automasi merupakan yang paling
banyak kemungkinan penerapannya di pusdokinfo. Namun sampai saat ini belum ada satu
pun pusdokinfo di Indonesia yang telah menerapkan automasi secara penuh.
Beberapa di antara pusdokinfo memang telah memanfaatkan komputer untuk
pekerjaan rutin, administrasi, atau penelusuran, akan tetapi komputer belum terpasang
dalam sebuah sistem yang utuh. Sistem automasi yang utuh diartikan sebagai sebuah
sistem yang merangkai secara terpasang (online) setiap jenis kegiatan di
perpustakaan sehingga komputer menghasilkan informasi yang bersifat serta merta
(instant information). Misalnya bila sebuah buku X dipinjam dan dicatatkan ke
komputer di layanan sirkulasi, maka data peminjaman tersebut diinformasikan
seketika itu juga kepada pemakai yang sedang melakukan penelusuran bahwa buku X
telah berkurang jumlah eksemplarnya sebanyak satu buah. Jadi pemakai dapat
memperoleh informasi tentang keberadaan sebuah buku apakah di rak atau di
tangan peminjam. Sistem automasi yang utuh juga berarti bahwa data terpusat di
satu tempat (file server) yang dapat dimanfaatkan melalui terminal-terminal
secara serentak.
Mengacu
pada pengertian sistem automasi di atas, dapat dikatakan perkembangan automasi
amat lamban dibandingkan perkembangan teknologi informasi. Lambannya
perkembangan automasi di pusdokinfo Indonesia cukup mengherankan karena tidak
sedikit pusdokinfo yang mampu mengadakan perangkat keras komputer. Dalam hal
perangkat lunak, di pasaran berbagai program aplikasi untuk pusdokinfo telah
tersedia. Begitu pula, pelatihan-pelatihan di bidang automasi pun telah sering
digunakan. Pustakawan-pustakawan seakan-akan akrab dengan kata-kata automasi, CDS/ISIS,
pangkalan data, internet, dan kata-kata lain yang mencerminkan bahwa pustakawan
“kenal baik” dengan automasi. Lalu, mengapa perkembangan automasi masih
tertatih-tatih?
Menurut
Rouse (Kusumaningrum, 1998: 119) keberhasilan inovasi terfokus pada factor
manusia yang berkenaan dengan nilai, persepsi, dan keseimbangan manusia yang
terlibat dalam proses inovasi itu. Kalau begitu, keberhasilan penerapan
teknologi informasi atau lebih khusus automasi lebih banyak tergantung pada
manusia dan bukan pada perangkat keras atau perangkat lunak. Artinya pula,
untuk automasi tidaklah mesti menggunakan perangkat merk tertentu atau
perangkat lunak tertentu karena kinerja sistem berbantuan komputer ini lebih
dipengaruhi oleh manusia pengguna system
tersebut.
1. Sikap Pustakawan
Sehubungan
faktor manusia, ternyata terdapat dua kelompok pustakawan yang dibagi berdasarkan
sikapnya terhadap sistem automasi (Bichteler, 1987: 282). Kelompok pertama adalah
pustakawan-pustakawan yang menerima sistem automasi secara antusias dan memperlihatkan
minat mereka dengan mempelajari sistem dan terlibat dalam programprogram pelatihan.
Kelompok kedua adalah pustakawan-pustakawan yang menolak system automasi,
biasanya pustakawan-pustakawan yang lebih senior. Anggota kelompok ini tidak mempercayai
“benda tak dikenal” tersebut dan berusaha menghindari benda itu. Mereka terbelenggu
oleh perasaan khawatir dan lebih tertarik pada sistem yang konvensional. Mereka
juga khawatir akan kehilangan pekerjaan karena pekerjaan tersebut digantikan
oleh komputer.
Sikap
kelompok yang menolak sistem automasi demikian barangkali dapat “dipahami”
karena, bagaimanapun, penerapan komputer di pusdokinfo sedikit banyaknya akan
menyebabkan perubahan pada sistem dan prosedur kerja. Tentunya tidak semua
orang “diuntungkan” oleh perubahan tersebut. Orang orang yang merasa tidak
mampu menggunakan komputer akan merasa cemas karena posisinya mungkin akan
digantikan oleh orang lain yang bisa mengoperasikan komputer. Demikian juga,
beberapa kebiasaan dalam bekerja tentunya perlu berubah pula dan tidak semua
orang dapat mengubah kebiasaannya.
Salah
satu cara mengubah sikap negative pustakawan yang menolak sistem automasi
adalah dengan melibatkan pustakawan dalam pembangunan sistem tersebut sejak
awal. Dengan demikian, pustakawan bisa meyakinkan dirinya bahwa dia tidak akan
ditinggalkan atau digantikan oleh komputer. Sekaligus, pustakawan akan
mengetahui hal-hal yang dibutuhkan dalam lingkungan yang terautomasi sehingga
dapat menyiapkan dirinya agar tetap terlibat di dalam sistem tersebut.
Keterlibatan pustakawan dalam proses perencanaan maupun penerapan sistem
automasi juga akan membentuk cara pandang pustakawan yang positif tentang
sistem automasi.
Perubahan
antara sistem manual ke system berbantuan komputer juga perlu dilakukan secara
bertahap. Bila pustakawan biasanya membuat konsep katalog, maka secara berangsur-angsur
pustakawan diminta untuk memindahkan data bibliografis ke lembar kerja berupa
formulir yang mirip dengan lembar kerja di layar monitor komputer nantinya.
Perubahan secara bertahap tentunya tidak akan membuat pustakawan shock dan
tanpa disadarinya telah bekerja di dalam sistem “automasi” tanpa komputer. Pada
gilirannya, komputer dapat diperlakukan sebagai pengganti pena dan kertas
dengan cara dan prosedur kerja yang tetap.
2. Kemampuan
Pustakawan
Bagaimanapun,
kemampuan menggunakan komputer para pustakawan yang belum merata kalau tidak
dapat disebut rendah. Tambahan pula, dengan digunakannya program-program
aplikasi berbahasa pengantar bahasa Inggris dan pada umumnya perintah-perintah
dasar komputer serta bantuan yang diberikan dalam bahasa itu, peningkatan
kemampuan pustakawan semakin sukar. Tidak dapat disangkal ⎯meski
tidak didukung data penelitian⎯ jumlah pustakawan yang memahami
bahasa Inggris (pasif) tidaklah begitu banyak.
Dalam
hal lain, format data yang disimpan dalam pangkalan data bibliografis dalam
system automasi di Indonesia, yakni IndoMARC (Indonesia Machine Readable
Catalogue), belum begitu memasyarakat di kalangan pustakawan. Banyak pustakawan
yang merasa “disibukkan” oleh tanda-tanda yang digunakan dalam format ini
sewaktu meng-entry-kan data. Anggapan lain yang tidak benar adalah bahwa
tanda-tanda ^ (tudung) atau nomor tengara (tag) diperlukan karena program
aplikasi yang digunakan adalah CDS/ISIS, sedangkan kalau program aplikasi
dibangun dengan Visual FoxPro tidak perlu tanda-tanda yang “susah” itu. Semua
itu menyiratkan bahwa pustakawan belum memiliki wawasan yang benar tentang
IndoMARC.
Upaya
peningkatan kemampuan pustakawan memang telah sering dilakukan, misalnya dalam penataran
atau pelatihan komputer. Hanya saja, materi penataran/pelatihan itu lebih
menekankan pada keterampilan menggunakan program tertentu dan kadangkala malah
kurang bermanfaat dalam pekerjaan kepustakawanan, misalnya program CDS/ISIS
atau “keturunannya” WINISIS. Alhasil, pustakawan mampu menggunakan CDS/ISIS
namun tidak mengetahui apa yang dilakukannya begitu menghadapi setumpuk data
bibliografis di tempat kerjanya atau mengelola berkas-berkas komputer dengan
perintah dasar operating system. Seringkali pula penataran/pelatihan tidak memberikan
materi tentang konsep automasi dan komputer serta apa yang mesti dipersiapkan
dan dikerjakan untuk memulai langkah ke arah automasi. Tentunya penyusunan
materi penataran/pelatihan demikian perlu direvisi sehingga dapat memberikan
bekal yang cukup bagi pustakawan yang menjadi pesertanya.
Rendahnya
kemampuan rata-rata pustakawan dalam berbahasa Inggris menyiratkan perlunya penataran
atau pelatihan bahasa Inggris bagi pustakawan sekurang-kurangnya tentang bahasa
Inggris yang sering digunakan sebagai bahasa perantara manusia dan komputer.
3. Rancangan
Program Aplikasi
Program
aplikasi perpustakaan dirancang untuk membantu pustakawan dalam sistem
automasi. Di Indonesia, program-program tersebut sudah cukup banyak beredar,
antara lain Dynix, VTLS, NCI-BookMan, CASPIA, dan sebuah program DBMS (DataBase
Management System) untuk pusdokinfo, yakni CDS/ISIS yang bisa diperoleh secara
gratis. Khusus mengenai CDS/ISIS, pustakawan IPB telah melengkapinya dengan fasilitas
untuk menangani sirkulasi.
Hanya
saja tidak banyak di antara programprogram di atas yang optimal pemakaiannya, bahkan
ada yang tidak digunakan sama sekali setelah dibeli. Dari pandangan sekilas,
salah satu kendala dalam pengoperasian program-program itu adalah kurang
sesuainya fasilitas program dengan kebutuhan pustakawan, misalnya dalam hal
prosedur kerja atau bentuk keluaran (output) tercetak. Sebagai akibatnya, pustakawan
menjadi kurang “bergairah” apalagi bila program aplikasi tidak memiliki
fasilitas yang diperlukannya.
Hampir
semua program aplikasi dibuat oleh perancangnya berdasarkan pengetahuan perancang
tentang pusdokinfo dan bukan berdasarkan kebutuhan pustakawan. Pustakawan “dipaksa”
mengikuti kemauan program dan bukan sebaliknya program yang mengikuti kebutuhan
pustakawan. Keadaan demikian dapat dibalik dengan melibatkan pustakawan dalam merancang
program aplikasi, misalnya dalam hal struktur data, format tampilan, atau
bentuk keluaran. Untuk itu dibutuhkan jalinan kerja sama antara perancang
program (mungkin dari bidang ilmu komputer) dan pustakawan.
Sehubungan
dengan itu, pertanyaan yang cukup mengganggu adalah apakah memang perlu mencatat
data bibliografi sebanyak yang dinyatakan dalam panduan IndoMARC? Apakah tidak
“diperbolehkan” kalau butir data yang dicatat dikurangi jumlahnya dan
tanda-tanda “aneh” seperti tudung (^) dieliminasi? Bukankah di Internet yang
telah terbukti dapat menjadi sumber informasi, struktur data yang digunakan
tidaklah serumit IndoMARC?
4.
Peraturan tentang Angka Kredit
Dalam
Keputusan Kepala Perpustakaan Nasional RI Nomor 72 Tahun 1999 yang memuat
peraturan angka kredit pustakawan (Indonesia, 1999: 16) tertera angka kredit
untuk pekerjaan mengalihkan data bibliografis dalam bentuk manual adalah 0,002
per sepuluh cantuman (record), sedangkan dalam bentuk elektronik adalah 0,003
per sepuluh cantuman. Dalam keputusan yang sama dinyatakan bahwa angka kredit
untuk tugas mengelola data bibliografis dalam bentuk katalog kartu (manual)
adalah 0,005 per sepuluh cantuman dan dalam bentuk basis data 0,005 per satu
file. Perlu ditambahkan, hanya dua butir itulah peraturan angka kredit untuk
tugas-tugas yang “berbau” komputer.
Dari
peraturan di atas terlihat bahwa penghargaan terhadap pekerjaan yang berkaitan
dengan komputer atau automasi masih belum memadai. Secara kasar dapat dihitung
bahwa petugas entry data elektronik hanya memperoleh kelebihan satu angka
daripada petugas “manual” untuk setiap 1.000 judul. Begitu pula, nilai bagi
tugas mengelola data bibliografis secara elektronik ternyata amat kecil bila
dibandingkan dengan pekerjaan serupa secara manual. Tugas itu memperoleh nilai
yang sama (0,005) untuk beban kerja yang berbeda (10 cantuman dan satu file).
Berarti mengelola basis data berisi 10 cantuman secara manual sama nilainya
dengan mengelola basis data sebanyak satu file secara elektronik.
Aturan
angka kredit bagi pengelola basis data tersebut terasa sangatlah aneh karena
membandingkan 10 cantuman dengan satu file. Perlu dicatat bahwa satu file dapat
berisi cantuman sebanyak satu, 10, 100, sampai 100.000 bahkan lebih daripada
itu. Lalu, apakah yang dimaksud dengan mengelola data bibliografis secara
elektronik? Apakah hal ini menyiratkan bahwa pembuat aturan angka kredit
pustakawan juga tidak memahami pekerjaan yang berkaitan dengan komputer
sehingga membuat aturan yang “lucu” itu? Mengapa tidak ada aturan untuk
pekerjaan alih media dari dokumen berupa kertas menjadi dokumen terbaca
komputer?
Tanpa
bermaksud mengecilkan upaya penyusunnya, peraturan angka kredit ternyata masih
memerlukan perubahan karena dengan peraturan yang ada sekarang, pustakawan
belum akan termotivasi untuk bekerja dalam system automasi. Peraturan angka
kredit semestinya mampu mendorong pustakawan untuk menerima dan terlibat dalam
sistem automasi, Internet, dan sebagainya.
5. Materi
Pendidikan Kepustakawanan
Di
Indonesia perguruan tinggi yang membuka pendidikan kepustakawanan semakin
meningkat jumlahnya. Namun disayangkan, dalam kurikulum perguruan tinggi
tersebut materi tentang teknologi informasi tidaklah setara bobotnya. Padahal
sejak lama ilmu perpustakaan dan informasi telah memiliki kurikulum nasional
yang memungkinkan lulusan setiap perguruan tinggi tersebut memiliki kemampuan
yang tidak banyak berbeda termasuk dalam hal pemanfaatan teknologi informasi.
Kalaupun memerlukan perubahan, penambahan atau pengurangan mata kuliah tentunya
akan berlaku secara menyeluruh pula. Bila dididik dengan kurikulum yang baku,
maka ketika telah bekerja, pustakawan “baru” akan setara kemampuannya dalam
menggunakan teknologi informasi.
Lebih
daripada itu, materi pendidikan kepustakawanan masih terjebak pada
pekerjaanpekerjaan konvensional seperti inventarisasi bahan pustaka menggunakan
buku berukuran folio, klasifikasi yang mesti DDC, pengetikan katalog kartu,
pembuatan label buku, sirkulasi manual yang menggunakan tiket-tiket peminjaman,
dan sebagainya.
6.
Organisasi Profesi
Menilik
kelima aspek terdahulu, peranan Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) sebagai
organisasi profesi terasa semakin dibutuhkan untuk ditingkatkan. Tentunya akan
lebih mudah bagi pustakawan untuk saling berkomunikasi dan bekerja sama dengan
memanfaatkan wadah ini. Umpamanya ⎯melalui program-programnya⎯
IPI dapat membentuk semacam sanggar-sanggar kerja sebagai tempat
“bertukar-cerita” bagi pustakawan.
Peranan
IPI juga diperlukan dalam upaya penyetaraan kualitas lulusan lembaga pendidikan
kepustakawanan. Dengan kata lain, IPI berperan sebagai lembaga akreditasi yang
memantau proses pembentukan sumber daya manusia terdidik itu. Lebih jauh, IPI
juga bias mengakreditasi (calon) pustakawan seperti yang dilakukan oleh organisasi
profesi pustakawan di negara maju. Harapan pada IPI tersebut akan menjadi
kenyataan bila IPI lebih diberdayakan oleh anggotanya dan yang paling penting
oleh pengurusnya; tidak sekedar kongres dan musyawarah daerah untuk memilih
pengurus lalu “lupa” bekerja, tetapi ingat untuk melakukan pemilihan pengurus
setahun kemudian.
D. Penutup
Teknologi
informasi terutama komputer telah merasuk ke bidang kerja kepustakawanan. Semestinya
sebagai seseorang yang bergelut dengan (sumber) informasi, pustakawan lebih menguasai
komputer daripada orang-orang dari profesi lain sekurang-kurangnya dalam hal pengoperasiannya.
Namun kenyataan tidak memperlihatkan demikian. Salah satu titik sudut teknologi
informasi saja, yakni sistem automasi malah belum optimal penerapannya sebagai mitra
pustakawan. Dari sekian banyak penyebab kenyataan yang kurang menggembirakan
ini, faktor manusia merupakan faktor yang dominan. Ada enam aspek yang
berkaitan dengan factor manusia tersebut, yaitu: (1) sikap pustakawan; (2)
kemampuan pustakawan; (3) perancangan program aplikasi; (4) peraturan tentang
angka kredit; (5) materi pendidikan kepustakawanan; dan (6) organisasi profesi.
Keenam aspek tersebut perlu menjadi kepedulian para pustakawan baik sebagai
staf maupun pimpinan agar pustakawan siap memanfaatkan computer atau teknologi
informasi dalam suatu system automasi.
Pustakawan
perlu diajak serta dalam perencanaan pembangunan sistem automasi. Pustakawan
juga perlu menyamakan cara pandangnya tentang sistem automasi dan strukturdata
bibliografis elektronik.
Peningkatan
kemampuan pustakawan juga diharapkan mendapatkan perhatian, terutama dalam hal
pengoperasian komputer, perancangan program aplikasi, dan bahasa Inggris. Peningkatan
kemampuan tentunya akan berdampak positif bila peraturan angka kredit
memberikan nilai yang memuaskan bagi pustakawan yang bekerja di bidang tugas
yang berkaitan dengan sistem automasi.
Dua
lembaga yang dapat menjadi sarana peningkatan kemampuan pustakawan adalah
lembaga pendidikan ilmu informasi dan perpustakaan serta organisasi profesi
pustakawan. Lembaga pendidikan ilmu perpustakaan yang ada barangkali perlu
untuk meninjau ulang kurikulumnya secara bersamasama sehingga kualitas lulusan
setiap lembaga pendidikan tersebut merata.
Dukungan
yang paling diharapkan adalah dari IPI sebagai organisasi profesi. Bentuk
dukungan dimaksud adalah upaya penggalangan kerja sama antarpustakawan dengan
menyediakan wadah bagi pertukaran pengetahuan pustakawan. Lebih lanjut, IPI
perlu meningkatkan perannya, sehingga suatu waktu kelak dunia pusdokinfo
Indonesia memiliki lembaga akreditasi pendidikan ilmu informasi dan
perpustakaan serta lembaga akreditasi bagi pustakawan.
Rujukan
Carrico, Michael
A.; Girard, John E.; Jones, Jennifer P. (1989). Building knowledge systems:
developing & managing rulebased applications. New York: McGrawHill Book
Company.
Hariyadi, Utami.
(1989). “Pangkalan data bibliografi perguruan tinggi” dalam Laporan Lokakarya
Apresiasi Komputer untuk Kepala UPT Perpustakaan. Jakarta, 9-11 Januari 1989.
Jakarta: UKKP P3TBLN Dirjen Dikti.
Hariyadi, Utami.
(1993). “Penerapan teknologi informasi di perpustakaan di Indonesia.” dalam
Laporan Kongres VI dan Seminar IPI, Padang, 18-21 November 1992. editor
Hendrata Kusbandarrumsamsi, Jakarta: PB IPI.
Indonesia.
Perpustakaan Nasional. (1999). Keputusan Kepala Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia nomor 72 tahun 1999 tentang petunjuk teknis jabatan fungsional
pustakawan dan angka kreditnya. Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia.
Kusumaningrum,
Indrati. (1998). “Keberhasilan penerapan otomasi perpustakaan sebagai suatu
inovasi di perguruan tinggi.” Forum Pendidikan Nomor 02, Tahun XXIII-1998. pp.
117139.
Lubbe, J.C.A. Van
Der dan Nauta, D. (1992). “Peircean semiotics, culture and expert systems.”
Int. Forum Information and Documentation. Vol. 17(3) July 1992. 3-10.
Pendit, Putu
Laxman. (1994). “Makna dan peran informasi dari masa ke masa (bagian II
[habis]: ekonomi informasi dan informasi ekonomi.” Jurnal Ilmu Perpustakaan dan
Ilmu Informasi. Vol. 1(2) April 1994. p. 35-39.
Septiyantono, Tri.
(1997). “Pemanfaatan multimedia di pusdokinfo.” Makalah pada Kursus Penyegaran
dan Penambah Ilmu Perpustakaan, Dokumentasi, dan Informasi (KPP Pusdokinfo) VI,
Depok, 13-17 Oktober 1997.
Sulistyo-Basuki.
(1991). Pengantar ilmu perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sulistyo-Basuki.
(1997). “Perkembangan mutakhir dalam ilmu informasi dan perpustakaan.” Makalah
pada Kursus Penyegaran dan Penambah Ilmu Perpustakaan, Dokumentasi, dan
Informasi (KPP Pusdokinfo) VI, Depok, 13-17 Oktober 1997.
Yusuf, Pawit M.
(1988).Pedoman mencari sumber informasi. Bandung: Remadja Karya.
Zager, Pam dan
Smadi, Omar. (1992). "A Knowledge-based expert system application in
library acquisitions: monographs." Library acquisitions: practice &
theory. Vol. 16. 1992. pp. 14554.