Sebelum ke point artikel dibawah ini, kita perlu tahu bahwa peninggalan
Khilafah Utsmaniy di Indonesia masih banyak sekali hingga sekarang. Ada
beberapa contoh, silahkan diperhatikan.
1. Jika
ada yang mengatakan bentuk kubah masjid di Indonesia adalah dari bentuk stupa
candi Hindu atau Budha, itu salah besar karena bentuk kubah yang kita lihat
adalah hasil dari arsitek-arsitek muslim di era Khilafah Utsmaniyah. Lihat
buktinya, hampir seluruh dunia, memiliki bentuk kubah yang sama, termasuk
menara.
2. Ketika
kita memasuki masjid atau mushala, bahkan dari luar terkadang terlihat sekali,
ada banyak simbol bulan dan bintang (seperti pp saya). Ada yang tahu itu simbol
apa? Sebagian mengatakan itu simbol Islam, kalau iya itu simbol Islam kenapa
Rosul dan Sahabat tidak menggunakannya?. Jawaban yang benar adalah itu simbol
dari Khilafah Turkiy Utsmaniy. Banyak dari kita sering melihat, memasang
mungkin juga membuat simbol itu tetapi banyak pula yang tidak mengerti asalnya.
(Lihat gambar di Blog ini).
3. Gelar
Sulthan. Sebelumnya, di Indonesia terdiri dari beberapa kerajaan. Mereka
dipimpin oleh seorang Raja. Begitu Raja-Raja ini masuk Islam mereka berganti
nama dengan Sulthan, yang artinya penguasa (wilayah tertentu). Kenapa mereka
diberi gelar Sulthon, bukan Malik yang berarti Raja? Itu karena mereka hanya
menguasai wilayah islam sebagian kecil di daerah mereka berkuasa. Mereka masih
berada di bawah wali makkah atau disebut juga syarif makkah.
Wali makkah adalah penguasa bagian Negara Khilafah. Mereka
ditunjuk dan diberhentikan oleh Khalifah. Jadi Sulthon berada dibawah Wali dan
Wali berada dibawah Khalifah.
Maka, jika diteliti sejarahnya, setiap Sulthan yang masih
hidup hingga sekarang, mereka memiliki kewajiban untuk menerapkan Syariat Islam
secara Kaffah sebagai mana Sulthan sebelum mereka. Untuk sementara, hanya
Sulthan Brunei Dar Assalam (negeri sebelah) yang berani beritikad baik untuk
menerapkan Syariat Islam (walau belum sepenuhnya).
Ok, kita lanjut ke isi Blog ini
Bismillahirrahmanirrahim...
Untuk mengungkap kebenaran sejarah Islam Nusantara yang berkaitan dengan Khilafah Utsmaniy saat ini, memang sangat susah. Terlebih untuk mendapatkan bukti otentik bahwa benar adanya Nusantara ini adalah bagian dari wilayah ke Kekhilafahan Islam. Sangat susah menemukan buku-buku sejarah mengungkap hal ini seolah-olah sengaja menghilangkan fakta ini. Tapi sejarah yang benar pasti akan terungkap.
Berikut bukti otentik yang dapat
membuktikan hal tersebut. Bukti ini berupa surat resmi dari Sultan Aceh
Alauddin Mahmud Syah kepada Khalifah Abdul Aziz dari ke-khalifahan Turki
Usmani, berikut isi suratnya:
“Sesuai dengan ketentuan adat
istiadat kesultanan Aceh yang kami miliki dengan batas-batasnya yang dikenal
dan sudah dipunyai oleh moyang kami sejak zaman dahulu serta sudah mewarisi
singgasana dari ayah kepada anak dalam keadaan merdeka. Sesudah itu kami
diharuskan memperoleh perlindungan Sultan Salim si penakluk dan tunduk kepada
pemerintahan Ottoman dan sejak itu kami tetap berada di bawah pemerintahan Yang
Mulia dan selalu bernaung di bawah bantuan kemuliaan Yang Mulia almarhum sultan
Abdul Majid penguasa kita yang agung, sudah menganugerahkan kepada almarhum
moyang kami sultan Alaudddin Mansursyah titah yang agung berisi perintah
kekuasaan.
Kami juga mengakui bahwa penguasa
Turki yang Agung merupakan penguasa dari semua penguasa Islam dan Turki
merupakan penguasa tunggal dan tertinggi bagi bangsa-bangsa yang beragama
Islam. Selain kepada Allah SWT, penguasa Turki adalah tempat kami menaruh
kepercayaan dan hanya Yang Mulialah penolong kami. Hanya kepada Yang Mulia dan
kerajaan Yang Mulialah kami meminta pertolongan rahmat Ilahi, Turkilah tongkat
lambang kekuasaan kemenangan Islam untuk hidup kembali dan akhirnya hanya
dengan perantaraan Yang Mulialah terdapat keyakinan hidup kembali di seluruh
negeri-negeri tempat berkembangnya agama Islam. Tambahan pula kepatuhan kami
kepada pemerintahan Ottoman dibuktikan dengan kenyataan, bahwa kami selalu
bekerja melaksanakan perintah Yang Mulia. Bendera negeri kami, Bulan Sabit
terus bersinar dan tidak serupa dengan bendera manapun dalam kekuasaan
pemerintahan Ottoman; ia berkibar melindungi kami di laut dan di darat.
Walaupun jarak kita berjauhan dan terdapat kesukaran perhubungan antara negeri
kita namun hati kami tetap dekat sehingga kami telah menyetujui untuk mengutus
seorang utusan khusus kepada Yang Mulia, yaitu Habib Abdurrahman el Zahir dan
kami telah memberitahukan kepada beliau semua rencana dan keinginan kami untuk
selamanya menjadi warga Yang Mulia, menjadi milik Yang Mulia dan akan
menyampaikan ke seluruh negeri semua peraturan Yang Mulai.
Semoga Yang Mulai dapat mengatur
segala sesuatunya sesuai dengan keinginan Yang Mulia. Selain itu kami berjanji
akan menyesuaikan diri dengan keinginan siapa saja Yang Mulia utus untuk
memerintah kami.
Kami memberi kuasa penuh kepada
Habib Abdurrahman untuk bertindak untuk dan atas nama kami. Yang Mulia dapat
bermusyawarah dengan beliau karena kami telah mempercayakan usaha perlindungan
demi kepentingan kita.
Semoga harapan kami itu tercapai.
Kami yakin, bahwa Pemerintah Yang Mulia Sesungguhnya dapat melaksanakannya dan
kami sendiri yakin pula,bahwa Yang Mulia akan selalu bermurah hati”.
Petikan isi surat tersebut dikutip
dari Seri Informasi Aceh th.VI No.5 berjudul Surat-surat Lepas Yang Berhubungan
Dengan Politik Luar Negeri Kesultanan Aceh Menjelang Perang Belanda di Aceh
diterbitkan oleh Pusat Dokumentasi Dan Informasi Aceh tahun 1982 berdasarkan
buku referensi dari A. Reid, ”Indonesian Diplomacy a Documentary Study of
Atjehnese Foreign Policy in The Reign of Sultan Mahmud 1870-1874”, JMBRAS,
vol.42, Pt.1, No.215, hal 80-81 (Terjemahan : R. Azwad).
Poin-poin penting isi surat diatas
sebagai berikut :
ü
Wilayah Aceh
secara resmi menjadi bagian dari ke-Khalifahan Usmani sejak pemerintahan Sultan
Salim (Khalifah Turki Usmani yang sangat ditakuti dan disegani sehingga digelas
”sang Penakluk” oleh Eropah abad 15 M.
ü
Pengakuan
penguasa semua negeri-negeri kaum Muslimin bahwa Turki Usmani adalah penguasa
tunggal dunia Islam.
ü
Adanya
perlindungan dan bantuan militer dari Turki Usmani terhadap Aceh di laut dan di
darat. Hal ini wajar karena fungsi Khalifah adalah laksana perisai pelindung
ummat di setiap wilayah Islam.
ü
Hukum yang
berlaku di Aceh adalah hukum yang sama dilaksanakan di Turki Usmani yaitu hukum
Islam.
Dari isi surat
dapat disimpulkan bahwa kesultanan Aceh di Sumatera adalah bagian resmi wilayah
kekuasaan ke khalifahan Islam Turki Usmani tidak terbantahkan lagi. Hal sama
juga berlaku untuk daerah-daerah lain di Nusantara dimana kesultanan Islam
berdiri.
BANTUAN MILITER.
Khilafah
Usmani di Turki tidak berdiam diri ketika diminta untuk membantu Aceh. Pada
tahun 925H/1519 M, Portugis di Malaka digemparkan oleh berita tentang
pengiriman armada Usmani untuk membebaskan Muslim Melaka dari penjajahan kafir.
Kabar itu tentu menggembirakan umat Islam setempat.
Ketika Sultan
Alaidin Riayat Syah II Al-Qahhar naik tahta di Aceh pada tahun 943 H/1537 M,
menurutnya Aceh perlu meminta bantuan bala tentara dari Turki. Selain untuk
mengusir Portugis di Melaka, juga untuk menakluk wilayah lain, khususnya daerah
pedalaman Sumatera, seperti daerah Batak.
Al-Qahhar
menggunakan pasukan Turki, Arab dan Habsyah. Dengan pasukan Khilafah Usmani 160
orang dan 200 pasukan dari Malabar, membentuk kelompok elit angkatan bersenjata
Aceh. Al-Qahhar selanjutnya mengerahkan pasukan itu menakluk Batak di pedalaman
Sumatera pada 946 H/1539 M.
Dalam
indoforum.org yang ditulis oleh sumber anonim disebutkan, seorang sejarawan
Universiti Kebangsaan Malaysia, Lukman Taib, mengakui adanya bantuan Khilafah
Usmani dalam penaklukan wilayah sekitar Aceh.
Menurut Taib,
perihal itu merupakan bukti perpaduan umat Islam yang memungkinkan Khilafah
Usmani menyerang langsung wilayah sekitar Aceh. Bahkan, Khilafah mendirikan
akademi tentara di Aceh: Askeri Beytul Mukaddes yang diubah menjadi ‘Pasukan
Baitul Maqdis’, sehingga lebih sesuai dengan logat Aceh.
Pembentukan
ketentaraan itu merupakan bukti “mencetak” pahlawan dalam sejarah Aceh dan
Indonesia. Dari itu, hubungan Aceh dengan Khilafah Usmani sangat akrab. Aceh
jadi bagian dari wilayah Khilafah. Persoalan umat Islam Aceh dianggap Khilafah
sebagai persoalan dalam negeri yang mesti segera diselesaikan.
Nuruddin
Ar-Raniry dalam Bustanul Salatin menulis, Sultan Alaidin Riayat Syah Al-Qahhar
mengirim utusan ke Istanbul untuk menghadapi Khalifah. Utusan itu bernama
Huseyn Effendi. Ia fasih berbahasa Arab. Ia datang ke Turki setelah menunaikan
ibadah haji.
Pada Juni 1562
M, utusan Aceh itu tiba di Istanbul untuk meminta bantuan ketentaraan Usmani
untuk menghadapi Portugis. Duta itu dapat mengelak dari serangan Portugis dan
sampai di Istanbul. Ia mendapat bantuan Khilafah dan menolong Aceh
membangkitkan pasukannya sehingga dapat menakluk Aru dan Johor pada 973 H/1564
M.
Hubungan Aceh
dengan Khilafah terus berlanjut, terutama untuk menjaga keamanan Aceh dari
serangan Portugis. Pengganti Al-Qahhar II, yaitu Sultan Mansyur Syah (985-998
H/1577-1588 M) kemudian memperbaharui hubungan politik dan ketenteraan dengan
Khilafah Usmani.
Hal itu
diperkuat oleh sumber sejarah Portugis. Uskup Jorge de Lemos, kepercayaan Raja
Muda Portugis di Goa, pada tahun 993 H/1585 M, melaporkan kepada Lisbon bahwa
Aceh telah kembali berhubungan dengan Khalifah Usmani untuk mendapatkan bantuan
ketentaraan. Bantuan itu untuk melancarkan peperangan baru terhadap Portugis.
Pemerintah
Aceh berikutnya, Sultan Alaidin Riayat Syah (988-1013 H/1588-1604 M) juga
dilaporkan telah melanjutkan lagi hubungan politik dengan Turki. Bahkan,
Khilafah Usmani telah mengirim sebuah bintang kehormatan kepada Sultan Aceh dan
mengizinkan kapal-kapal Aceh untuk mengibarkan bendera Khilafah.
Hubungan akrab
antara Aceh dan Khilafah Usmani telah berperanan mempertahankan kemerdekaannya
selama lebih 300 tahun. Kapal-kapal atau perahu yang digunakan Aceh dalam
setiap peperangan terdiri dari kapal kecil dan kapal-kapal besar. Kapal-kapal
besar atau tongkang yang mengarungi lautan hingga Jeddah berasal dari Turki,
India, dan Gujarat. Dua daerah ini merupakan wilayah Khilafah Usmani.
Kapal-kapal
besar dari Turki itu dilengkapi meriam dan senjata lain yang digunakan Aceh
untuk menyerang penjajah Eropa yang mengganggu wilayah-wilayah muslim di
Nusantara. Aceh tampil sebagai kekuatan besar yang amat ditakuti Portugis,
karena diperkuat perlengkapan senjata dari Turki.
Bukti kejayaan
Khilafah Usmani menghalang Portugis di Lautan Hindi tersebut amat besar. Di
antaranya mampu mempertahankan tempat-tempat suci dan jalan-jalan untuk
menunaikan haji; kesinambungan pertukaran barang-barang India dengan pedagang
Eropa di Pasar Aleppo (Syria), Kaherah, dan Istanbul; serta kesinambungan
laluan perdagangan antara India dan Indonesia dengan Timur Jauh melalui Teluk
Arab dan Laut Merah.
Hubungan
beberapa kesultanan di Nusantara dengan Khilafah Usmani yang berpusat di Turki
tampak jelas. Misalnya, Islam masuk Buton (Sulawesi Selatan) abad 16 M.
Silsilah Raja-Raja Buton menunjukkan bahawa setelah masuk Islam, Lakilaponto
dilantik menjadi ‘sultan’ dengan gelar Qaim ad-Din (penegak agama) yang
dilantik oleh Syekh Abd al-Wahid dari Mekah.
Sejak itu, dia
dikenali sebagai Sultan Marhum dan semenjak itu juga nama sultan disebut dalam
khutbah Jumat. Menurut sumber setempat, penggunaan gelaran ‘sultan’ ini berlaku
setelah dipersetujui Khilafah Usmani (ada juga yang mengatakan dari penguasa
Mekah).
Syeikh Wahid
mengirim kabar kepada Khalifah di Turki. Realitas itu menunjukkan Mekah berada
dalam kepemimpinan Khilafah, dan Buton memiliki hubungan ‘struktur’ secara
tidak kuat dengan Khilafah Turki Usmani melalui perantaraan Syekh Wahid dari
Mekah.
Sementara itu,
di wilayah Sumatera Barat, Pemerintah Alam Minangkabau yang memanggil dirinya
sebagai “Aour Allum Maharaja Diraja” dipercayai adalah adik lelaki sultan Ruhum
(Rum). Orang Minangkabau percaya bahwa pemerintah pertama mereka adalah
keturunan Khalifah Rum (Usmani) yang ditugaskan untuk menjadi Syarif di wilayah
tersebut. Ini memberikan maklumat bahwa kesultanan tersebut memiliki hubungan
dengan Khilafah Usmani.
Di samping
adanya hubungan langsung dengan Khilafah Usmani, ada beberapa kesultanan yang
berhubungan secara tidak langsung, misalnya Kesultanan Ternate. Pada tahun
1570an, ketika perang Soya-soya melawan Portugis, Sultan Ternate, Baabullah,
dibantu Nusa Tenggara yang terkenal dengan armada perahu dan Demak dengan
pasukan Jawa.
Begitu juga
Aceh dengan armada laut yang perkasa dan kekuatan 30.000 buah kapal perang
telah menyekat pelabuhan Sumatera dan menyekat pengiriman bahan makanan dan
peluru Portugis melalui India dan Selat Melaka.
Berdasarkan
beberapa cerita di atas, jelas bahwa kesultanan Islam di Nusantara memiliki
hubungan dengan Khilafah Usmani. Bentuk hubungan tersebut berbentuk
perdagangan, ketenteraan, politik, dakwah, dan kekuasaan.
Masih banyak
fakta-fakta lain yang seakan ‘dikubur’ oleh Penjajah untuk melupakan kaum
Muslim Indonesia dari sejarah yang benar. Namun, Allah Dzat Yang Maha
Menyembunyikan, tidak akan mengubur kebenaran, karena Cahaya Khilafah di ufuk
sudah semakin terang.